Drama Hukum di Pengadilan Makassar: Empat Terdakwa Makar Papua Jalani Sidang Dakwaan
INFO Oksibil– Awan tegang konflik di Papua kembali menemui babak baru dalam ruang sidang yang berjarak ribuan kilometer dari tanah kelahiran para terdakwa. Pada pekan lalu, Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Sulawesi Selatan, secara resmi memulai proses hukum terhadap empat orang terdakwa dalam kasus makar: Abraham G Gamam (AGG), Piter Robaha (PR), Maksi Sangkek (MS), dan Nikson Mai (NM). Sidang dakwaan ini menjadi puncak dari sebuah proses yang diawali dengan kericuhan dan penolakan keras di Sorong, serta menyentuh urat saraf sensitif persoalan hukum dan politik di Papua.
Akar Konflik: Baku Tembak dan Aksi Pembakaran di Paniai
Untuk memahami kasus ini, penting untuk menengok ke peristiwa berdarah yang menjadi konteksnya. Pada 21 dan 22 Mei 2024, sebuah insiden serius terjadi di Kampung Madi, Distrik Paniai Timur, Kabupaten Paniai, Papua Tengah. Kelompok bersenjata yang diidentifikasi sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB-OPM) terlibat baku tembak dengan aparat.
Dalam insiden itu, seorang personil Komando Daerah Pertahanan (Kodap) VIII Intan Jaya dari kelompok tersebut, Detius Kogoya, dilaporkan tewas. Foto yang beredar menunjukkan prosesi pembakaran mayat Kogoya yang dilakukan oleh rekan-rekannya, sebuah gambaran suram dari eskalasi kekerasan yang terjadi. Lebih dari itu, kelompok bersenjata ini juga membakar 12 bilik kios dan sejumlah bangunan sekolah. Aksi pembakaran infrastruktur sipil dan pendidikan ini memicu kecaman luas dan menjadi latar belakang operasi penegakan hukum yang kemudian dilakukan oleh aparat.
Dari Sorong ke Makassar: Pengawalan Ketat dan Protes Berujung Ricuh
Keempat terdakwa, yang disangkakan sebagai anggota Negara Republik Federasi Papua Barat (NRFPB)—sebuah entitas yang tidak diakui oleh pemerintah Indonesia—awalnya ditahan di Polresta Sorong. Rencana pemindahan mereka ke Makassar untuk disidang memantik gelombang penolakan.

Baca Juga: Chelsea Rebut Tanda Tangan Messinho, Rekor Transfer Terancam Pecah!
Pada Rabu, 27 Agustus 2024, massa simpatisan turun ke jalan di Kota Sorong, Papua Barat Daya. Mereka menolak rencana pemindahan tersebut, yang dianggap sebagai upaya untuk menjauhkan para terdakwa dari dukungan komunitas dan keluarga mereka. Aksi ini dengan cepat berubah menjadi kericuhan di sejumlah titik, termasuk depan Polresta Sorong.
Suasana mencekam terjadi sekitar pukul 06.33 WIT. Aparat kepolisian yang berusaha membawa keempat terdakwa harus berhadapan dengan massa yang memblokade pintu masuk. Aparat anti-huru hara (Dalmas) terpaksa mendorong mundur massa yang bersikukuh tidak bubar. Kapolresta Sorong Kota, Kombes Pol Amry Siahaan, turun langsung melakukan pendekatan persuasif untuk menenangkan situasi.
Dengan pengawalan ketat empat mobil ranpur (kendaraan tempur) Brimob Polda Papua Barat Daya, keempat terdakwa akhirnya berhasil dibawa ke Bandara Domine Eduard Osok Sorong. Tim dari Kejaksaan dan Brimob langsung mengawal mereka menuju area keberangkatan. Namun, protes tidak serta merta reda. Kemarahan massa menjalar ke beberapa titik lain di Kota Sorong, seperti Kompleks Pertokoan Yohan dan Jalan Baru, menunjukkan bahwa ketegangan masih menyala.
Sidang Dakwaan di PN Makassar: Awal dari Perjalanan Hukum Panjang
Setelah melalui perjalanan yang dramatis, keempat terdakwa akhirnya menjalani sidang dakwaan di PN Makassar. Sidang ini digelar di bawah pengawasan ketat. Juru Bicara Pengadilan Negeri Makassar, Sibali, mengonfirmasi bahwa proses tersebut telah selesai dilaksanakan.
“Setelah menjalani sidang dakwaan, keempat terdakwa akan kembali sidang pada pekan depan,” ujar Sibali. Sidang lanjutan yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Herbert Harefa, serta dua hakim anggota, Henry Dunant Manuhua dan Samsidar Nawawi, dijadwalkan kembali digelar pada Kamis, 4 September 2024.
Pemindahan tempat sidang dari Papua ke Makassar bukanlah hal yang baru. Pemerintah beralasan bahwa kebijakan ini dilakukan untuk alasan keamanan dan kelancaran proses peradilan. Makassar dianggap sebagai lokasi yang lebih netral dan minim potensi gangguan yang dapat memicu konflik horizontal atau upaya pembebasan. Namun, kritik kerap dilayangkan oleh para pengacara HAM dan kelompok advokasi Papua yang menilai hal ini menyulitkan keluarga dan tim kuasa hukum terdakwa, serta dianggap sebagai bentuk “pengasingan” hukum yang melanggar prinsip peradilan yang mudah diakses.
Analisis: Makna Politik dan Hukum di Balik Sidang
Sidang kasus makar ini bukan sekadar persoalan hukum biasa. Ia sarat dengan muatan politik dan menjadi cermin dari kompleksitas konflik Papua yang berlarut-larut.
-
Uji Coba Penegakan Hukum vs Gerakan Separatis: Pemerintah Indonesia konsisten menyatakan bahwa persoalan di Papua adalah masalah hukum dan kesejahteraan, bukan politik. Sidang ini menjadi instrument untuk menunjukkan bahwa negara hadir menegakkan hukum terhadap segala bentuk aksi yang dianggap mengancam kedaulatan dan keutuhan NKRI. Keberhasilan proses peradilan yang fair dan transparan akan menjadi poin penting bagi citra pemerintah di mata internasional.
-
Respon Komunitas Internasional: Kasus-kasus seperti ini selalu diawasi dengan ketat oleh komunitas internasional dan organisasi HAM. Cara negara menangani proses hukum terhadap para terdakwa, termasuk jaminan atas hak-hak mereka untuk mendapat pengadilan yang adil dan bebas dari penyiksaan, akan menjadi bahan penilaian.
-
Dilema Keamanan vs Akses Keadilan: Kebijakan pemindahan sidang memang dapat dibenarkan dari sudut pandang keamanan operasional. Namun, di sisi lain, ia menimbulkan dilema terhadap prinsip akses terhadap keadilan. Keluarga korban, masyarakat lokal, dan lembaga pengawas independen menjadi lebih sulit untuk memantau jalannya persidangan, yang dapat memicu tuduhan bahwa proses hukum dilakukan secara tertutup.
-
Dampak pada Situasi di Papua: Putusan yang akan dihasilkan dari persidangan di Makassar ini berpotensi mempengaruhi situasi keamanan di Papua. Baik yang bersifat meredakan ketegangan maupun, sebaliknya, memicu reaksi baru dari kelompok-kelompok yang merasa diperlakukan tidak adil.
Menanti Babak Selanjutnya
Sidang lanjutan pada 4 September nanti akan menjadi tahap krusial. Para terdakwa akan diberikan kesempatan untuk membacakan pleidoi atau nota pembelaan, yang di dalamnya biasanya tidak hanya berisi bantahan secara hukum tetapi juga menyampaikan pandangan politik mereka.
Perjalanan hukum keempat terdakwa ini akan menjadi salah satu episode penting dalam narasi panjang Papua. Ia mengingatkan semua pihak bahwa solusi konflik tidak bisa hanya diselesaikan di ruang pengadilan, tetapi juga memerlukan pendekatan yang komprehensif, dialog yang jujur, dan komitmen kuat untuk membawa perdamaian dan keadilan yang berkelanjutan di tanah Papua. Seluruh mata kini tertuju pada Majelis Hakim di Makassar, menunggu bagaimana proses hukum yang penuh tantangan ini akan berjalan.