TKD 2026 Dipangkas Drastis, Dana Transfer ke Daerah Biak Numfor Diperkirakan Anjlok Rp 275 Miliar
INFO Oksibil– Kabupaten Biak Numfor, salah satu daerah otonom di jantung Papua yang indah, tengah menghadapi ancaman badai fiskal. Laporan terbaru dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan memproyeksikan dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) untuk tahun 2026 akan dipangkas secara signifikan oleh pemerintah pusat. Imbasnya, Biak Numfor diperkirakan akan kehilangan aliran dana hingga Rp 275,28 miliar dari anggaran yang biasanya mereka terima.
Ini bukan hanya sekadar angka statistik, melainkan potensi pengurangan drastis yang akan menyentuh langsung pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan, pendidikan, dan program-program kesejahteraan masyarakat di kepulauan tersebut.
Gambaran Besar: Pemangkasan Nasional yang Historis
Langkah pemangkasan ini bukan kebijakan yang terisolasi untuk Biak Numfor, melainkan sebuah keputusan fiskal nasional yang besar. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, pemerintah menetapkan pagu TKDD sebesar Rp 650 triliun.

Baca Juga: Tim Gabungan Basarnas, TNI, dan Polri Berhasil Evakuasi Empat Jenazah Korban Helikopter di Jila
Angka ini menjadi sangat mencolok ketika dibandingkan dengan proyeksi realisasi TKDD tahun 2025 yang mencapai Rp 864,1 triliun. Artinya, terjadi koreksi atau pemotongan sebesar 24,8% secara keseluruhan. Jika dilihat dari tren lima tahun terakhir, alokasi Rp 650 triliun pada 2026 akan menjadi yang terendah sejak 2021, memutar balik tren peningkatan yang terjadi sebelumnya.
-
2021: Rp 785,7 T
-
2022: Rp 816,2 T
-
2023: Rp 881,4 T
-
2024: Rp 863,5 T
-
2025: Rp 864,06 T
-
2026 (Proyeksi): Rp 650 T
Komponen TKDD 2026 yang dirinci adalah:
-
Dana Bagi Hasil (DBH): Rp 45,1 triliun
-
Dana Alokasi Umum (DAU): Rp 373,8 triliun
-
Dana Alokasi Khusus (DAK): Rp 155,5 triliun
-
Dana Otonomi Khusus (Otsus): Rp 13,1 triliun
-
Dana Desa: Rp 60,6 triliun
-
Serta komponen lainnya.
Dampak Langsung ke Biak Numfor: Proyeksi yang Suram
Dana Transfer ke Daerah adalah napas kehidupan bagi pembangunan di daerah. Dana ini bertujuan untuk mendukung desentralisasi fiskal, mengurangi kesenjangan antara pusat dan daerah, dan yang terpenting, meningkatkan kualitas layanan publik di tingkat akar rumput.
Untuk Biak Numfor, pagu anggaran TKDD di tahun 2025 tercatat sebesar Rp 1.110,65 miliar. Namun, dengan kebijakan pemangkasan nasional sebesar 24,8%, perhitungan kasar menunjukkan alokasi untuk Biak Numfor pada 2026 bisa anjlok menjadi sekitar Rp 834 miliar. Ini berarti ada penurunan nominal sebesar Rp 275,28 miliar yang harus ditanggung oleh kabupaten ini.
Angka ini masih bersifat proyeksi dan menunggu kepastian serta rincian dari pemerintah pusat. Pertanyaan besar yang belum terjawab adalah: komponen mana saja yang akan dipotong? Apakah DAU yang menjadi penyangga utama belanja rutin dan gaji? DAK fisik untuk infrastruktur? Atau justru Dana Otsus yang menjadi amunisi khusus pembangunan Papua?
Membaca Realisasi 2025: Sebuah Potret Ketergantungan dan Tantangan
Data realisasi TKDD Biak Numfor per September 2025 memberikan konteks yang crucial tentang betapa daerah ini bergantung pada dana transfer tersebut dan di mana dampak terbesar pemotongan akan terasa.
-
Tingkat Penyerapan yang Variatif: Secara keseluruhan, realisasi TKDD baru mencapai 55,83% (Rp 620,09 M dari pagu Rp 1.110,65 M). Ini menunjukkan bahwa hingga tiga perempat tahun berjalan, masih ada tantangan dalam penyerapan anggaran.
-
DAU: Penyangga Utama Terserap Lumayan: DAU, dengan pagu terbesar (Rp 651,12 M), telah terserap 67,89%. Komponen DAU untuk pendidikan dan kesehatan bahkan telah terserap 75%. Pemotongan pada DAU akan langsung mempengaruhi kemampuan daerah membiayai operasional pemerintahan, gaji, dan layanan dasar.
-
DAK Fisik & Otsus: Penyerapan yang Sangat Rendah: Ini adalah titik yang paling mengkhawatirkan. DAK Fisik hanya terserap 6,72%. Sementara Dana Otonomi Khusus baru terserap 29,01%. Kedua dana ini adalah motor utama untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, sekolah, dan puskesmas baru di Papua. Penyerapan yang rendah bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti proses lelang yang lambat, kendala geografis, atau administrasi. Pemotongan pada dua komponen ini, di tengah penyerapan yang sudah bermasalah, bisa melumpuhkan pembangunan.
-
Dana Desa: Penyerapan Dana Desa juga masih di tengah jalan, yakni 49,61%. Dana ini vital untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat langsung di tingkat kampung.
Apa Artinya bagi Masyarakat Biak Numfor?
Penurunan dana sebesar Rp 275 miliar bukanlah angka yang bisa dianggap enteng. Dampaknya akan bersifat multi-sektoral:
-
Pembangunan Infrastruktur Terhambat: Proyek-proyek pembangunan jalan, perbaikan pelabuhan, pembangunan sekolah dan puskesmas baru sangat mungkin ditunda atau dibatalkan.
-
Layanan Publik Terganggu: Kualitas layanan kesehatan dan pendidikan bisa menurun jika anggaran untuk operasional, alat kesehatan, atau fasilitas belajar dikurangi.
-
Program Bantuan Sosial Menyusut: Berbagai program bantuan non-fisik yang didanai DAK Nonfisik dan Dana Otsus, seperti tunjangan guru, bantuan operasional kesehatan (BOK), dan BOS, berpotensi dikurangi nilainya atau cakupannya.
-
Perekonomian Lokal Melambat: Sirkulasi uang di daerah akan melambat karena berkurangnya proyek pemerintah yang biasanya menyerap tenaga kerja dan membeli material lokal.
Menanti Kepastian dan Strategi Adaptasi
Pemerintah Kabupaten Biak Numfor kini berada dalam posisi yang sulit. Mereka harus menunggu kepastian dan rincian alokasi definitif dari pusat, sambil menyusun strategi darurat.
Beberapa langkah yang mungkin diambil adalah:
-
Memprioritaskan Ulang Program: Memfokuskan sisa dana pada program-program yang paling penting dan mendesak bagi kesejahteraan masyarakat.
-
Meningkatkan Efisiensi dan Percepatan Penyerapan: Memperbaiki birokrasi perencanaan dan pengadaan barang/jasa agar dana yang ada dapat diserap lebih cepat dan tepat sasaran.
-
Berdialog dengan Pusat: Memperjuangkan agar pemotongan tidak dilakukan secara seragam, tetapi mempertimbangkan kondisi khusus daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) seperti Biak Numfor, serta kinerja penyerapan mereka.
Kebijakan penghematan pusat memang mungkin diperlukan dalam situasi makroekonomi tertentu, namun dampak riilnya di tingkat daerah, terutama di wilayah yang masih bergulat dengan ketertinggalan seperti Papua, harus menjadi pertimbangan utama. Rp 275 miliar bagi Jakarta mungkin sebuah angka, tetapi bagi Biak Numfor, itu adalah jalan yang belum beraspal, puskesmas yang kekurangan dokter, dan masa depan anak-anak yang menanti kesempatan belajar yang lebih baik.